TIMES TASIKMALAYA – Wajah kusut dan mata sembab terlihat jelas dari UB (49), seorang warga Kecamatan Tawang, Kota Tasikmalaya. Malam itu ia tidak bisa memejamkan mata, bukan hanya karena harus menemani ayahnya (AA), seorang pedagang sate, yang tengah dirawat di rumah sakit di kawasan Jalan Otto Iskandardinata, melainkan juga karena kebingungan menghadapi kenyataan pahit.
Kartu Indonesia Sehat (KIS) milik ayahnya yang terdaftar sebagai peserta BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI) ternyata tidak aktif. Kisah ini menjadi potret nyata bagaimana ribetnya birokrasi dan sistem layanan BPJS Kesehatan ketika peserta menghadapi kondisi darurat.
Pada Kamis malam (4/9/2025), sekitar pukul 19.30 WIB, UB bersama istrinya membawa sang ayah ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) salah satu rumah sakit. Ayahnya didiagnosis mengalami gangguan jantung yang membutuhkan perawatan intensif. Namun, pukulan berat datang saat petugas administrasi rumah sakit menyatakan KIS PBI sang ayah sudah tidak aktif.
Petugas rumah sakit lantas meminta UB menandatangani surat pernyataan dimana apabila dalam waktu 3x24 jam kepesertaan KIS tidak dapat diaktifkan, maka biaya perawatan harus ditanggung sendiri layaknya pasien umum. Hingga Jumat (5/9/2025), tagihan rumah sakit sudah hampir menyentuh kurang lebih Rp3 juta .
“Saya bingung, saya bukan tidak mau bayar, tapi kondisi ekonomi saya berat. Kalau KIS bapak tidak aktif, apalagi bapak harus masuk ruanan ICU, bagaimana nasib kami?” tutur UB kepada TIMES Indonesia. Sabtu (6/9/2025) siang.
Dalam kebingungan, UB berinisiatif menghubungi Ketua RW di wilayahnya untuk meminta bantuan. Sang RW langsung menindaklanjuti dengan menghubungi Dinas Sosial Kota Tasikmalaya. Namun, jawaban yang diterima menambah nelangsa, sebab proses aktivasi kepesertaan tidak bisa dilakukan pada Jumat (5/9/2025) karena bertepatan dengan libur nasional Maulid Nabi Muhammad SAW.
“Padahal rumah sakit bilang, kartu harus aktif Sabtu (7/9/2025). Kalau tidak, semua biaya jadi pasien umum.” ujar UB lirih.
TIMES Indonesia mencoba mengonfirmasi hal ini kepada YI, petugas pelayanan informasi BPJS Kesehatan di rumah sakit tersebut. Ia membenarkan bahwa pasien AA sudah terdaftar secara sistem sejak Kamis malam pukul 19.42 WIB.
Permenkes No. 28 2014 dicetak YI yang dijadikan dasar aturan aktivasi kepesertaan KIS PBI, Sabtu (6/9/2025) (FOTO: Harniwan Obech/TIMES Indonesia)
Namun, aturan yang berlaku berdasarkan Permenkes No. 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional menyebutkan bahwa status kepesertaan peserta baru harus diaktivasi maksimal 3x24 jam hari kerja sejak pasien masuk rumah sakit. Jika tidak, maka pasien akan otomatis dikategorikan sebagai pasien umum.
Masalah muncul karena sistem komputer BPJS tidak mengenali hari libur nasional. Sehingga Jumat tetap dihitung sebagai hari kerja.
“Kami di lapangan sebenarnya memahami keluhan keluarga pasien. Tapi ini soal sistem, kami tidak bisa mengubah aturan.” ungkap YI sambil menunjukan print-out Permenkes yang dijadikan dasar aturan tersebut.
Kasus seperti yang dialami UB bukanlah yang pertama. Berdasarkan data Kementerian Sosial, peserta BPJS PBI (Penerima Bantuan Iuran) kerap terdampak akibat pemutakhiran data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). Peserta bisa dinonaktifkan apabila dianggap sudah tidak lagi miskin, atau mampu membayar iuran secara mandiri.
Namun, dalam praktiknya banyak warga miskin yang justru terlewat dalam pembaruan data. Akibatnya, mereka terkejut saat KIS tidak bisa digunakan di rumah sakit.
UB hanya bisa berharap agar pemerintah dan BPJS Kesehatan memperbaiki sistem yang ada. Ia menilai aturan yang kaku tanpa mempertimbangkan situasi darurat medis justru merugikan rakyat kecil.
“Kami tidak minta lebih, hanya minta keadilan. Kalau ada kelonggaran saat darurat, mungkin bapak bisa lebih cepat ditangani tanpa beban pikiran soal biaya.” kata UB
Sejak diluncurkan pada 2014, BPJS Kesehatan dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memang menjadi tonggak penting pelayanan kesehatan di Indonesia. Hingga 2025, tercatat lebih dari 270 juta jiwa sudah menjadi peserta, menjadikan JKN sebagai salah satu skema asuransi kesehatan sosial terbesar di dunia.
Namun, tantangan tetap ada dimana pantauan TIMES Indonesia di lapangan data kepesertaan masih ada yang tidak akurat, terutama peserta PBI, kemudian Sistem birokrasi yang dipandang kaku, seperti aturan 3x24 jam serta kurangnya pemahaman masyarakat soal prosedur dan hak peserta.
Kisah UB di Tasikmalaya hanyalah satu dari sekian banyak cerita tentang keruwetan layanan BPJS Kesehatan di lapangan. Di balik semangat mewujudkan jaminan kesehatan nasional, masih ada celah besar antara aturan di atas kertas dengan kenyataan di lapangan.
Sampai saat ini, UB hanya bisa berharap agar KIS ayahnya segera aktif kembali dan sang ayah mendapat penanganan medis tanpa dihantui tagihan yang kian membengkak.
“Semoga pemerintah bisa lebih memerikan jalan untuk proses pemeriksaan dan perawatan ayah di rumah sakit ini,” pungkas UB.(*)
Pewarta | : Harniwan Obech |
Editor | : Imadudin Muhammad |