TIMES TASIKMALAYA, PACITAN – Di tengah derasnya arus teknologi dan perubahan cepat dunia pendidikan tinggi, ada satu pertanyaan mendasar, ke mana kearifan lokal harus ditempatkan? Pertanyaan itulah yang coba dijawab STKIP PGRI Pacitan lewat Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Tahun 2025, Kamis (18/12/2025).
Melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M), kampus keguruan di Pacitan itu menghadirkan ruang diskusi ilmiah yang mempertemukan gagasan, riset, dan praktik pengabdian dari berbagai daerah di Indonesia.
Tema yang diusung pun relevan dengan tantangan zaman: “Integrasi Kearifan Lokal dan Sainstek untuk Pendidikan Tinggi yang Adaptif dan Transformatif.”
Ketua LP2M STKIP PGRI Pacitan sekaligus Ketua Panitia, Sugiyono, menegaskan bahwa seminar nasional ini tidak sekadar agenda rutin akademik. Forum ini, kata dia, dirancang sebagai ruang dialog terbuka untuk membaca arah perubahan pendidikan tinggi yang kian cepat.
“Syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT, atas kesehatan dan kesempatan yang dilimpahkan kepada kita semua, sehingga hari ini kita dapat melaksanakan Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Tahun 2025. Semoga kegiatan ini membawa keberkahan dan manfaat bagi kita semua,” ujar Sugiyono saat membuka acara.
Menurutnya, seminar nasional menjadi wadah strategis bagi dosen, peneliti, dan praktisi pendidikan untuk saling berbagi hasil riset sekaligus memperkaya perspektif lintas disiplin keilmuan.
“Forum ini kami siapkan untuk mempublikasikan hasil penelitian dan Abdimas. Lebih dari itu, ini ruang diskusi ilmiah agar peserta tidak hanya mempresentasikan karya, tetapi juga saling belajar dan mengembangkan wawasan,” jelasnya.
Sugiyono menekankan pentingnya mengintegrasikan kearifan lokal dengan sains dan teknologi di tengah globalisasi pendidikan. Perguruan tinggi, menurut dia, dituntut adaptif dan inovatif tanpa kehilangan konteks sosial-budaya masyarakatnya.
“Integrasi kearifan lokal dan sainstek diharapkan menjadi solusi dalam membangun sistem pendidikan tinggi yang inklusif, inovatif, dan tetap memiliki daya saing global,” tegasnya.
Peserta dari Bali hingga Aceh
Antusiasme peserta tercermin dari cakupan wilayah yang luas. Seminar nasional ini diikuti ratusan peserta dari berbagai daerah, mulai dari Bali, Makassar, Aceh, hingga sejumlah wilayah lain di Indonesia. Seluruh rangkaian kegiatan dilaksanakan secara daring.
Sugiyono merinci, terdapat 49 presenter pendamping yang memaparkan hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Sementara itu, jumlah peserta yang mengikuti seminar secara virtual mencapai 218 orang.
“Pesertanya beragam, mulai dari dosen, mahasiswa, guru, hingga peserta umum. Ini menunjukkan bahwa isu kearifan lokal dan sainstek memang relevan lintas profesi,” ungkapnya.
Dalam seminar tersebut, panitia juga menghadirkan dua narasumber nasional, yakni Prof. Dr. Rahadian Zainul, S.Pd., M.Si. dari Universitas Negeri Padang dan Prof. Dr. Muhammad Rohmadi, S.S., M.Hum. dari Universitas Sebelas Maret.
Di akhir sambutannya, Sugiyono menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang telah mendukung terselenggaranya kegiatan tersebut.
“Kami mengucapkan terima kasih kepada para narasumber, pimpinan STKIP PGRI Pacitan, seluruh panitia, para pemakalah, peserta, dan semua pihak yang telah berkontribusi menyukseskan Seminar Nasional Tahun 2025 ini,” katanya.
Kampus Tak Boleh Tercerabut dari Akar Budaya
Sementara itu, Ketua STKIP PGRI Pacitan, Bakti Sutopo, menegaskan bahwa seminar nasional ini merupakan wujud konkret peran perguruan tinggi dalam merespons perkembangan zaman, khususnya kemajuan teknologi di dunia pendidikan.
“Ini bentuk andil kampus dalam menyikapi perkembangan kekinian di dunia pendidikan yang memang tidak bisa dilepaskan dari teknologi,” ujarnya.
Namun, Bakti mengingatkan agar kemajuan teknologi tidak meminggirkan nilai-nilai kearifan lokal. Menurutnya, kearifan lokal adalah bagian dari identitas dan kepribadian bangsa yang tidak bisa dilepaskan begitu saja.
“Kearifan lokal itu sangat berharga. Ia berkaitan dengan nilai-nilai luhur dan kepribadian masyarakat,” katanya.
Ia menilai, kearifan lokal memiliki kekuatan dalam menawarkan solusi atas berbagai persoalan sosial dengan pendekatan yang bijaksana dan beradab. “Yang terpenting adalah bagaimana kearifan lokal mampu membantu menyelesaikan masalah dengan cara yang baik,” imbuhnya.
Dalam konteks pendidikan tinggi, Bakti menegaskan bahwa lokal dan global tidak seharusnya dipertentangkan. Inovasi global justru harus berpijak pada akar budaya bangsa. “Kita tidak boleh mempertentangkan kearifan lokal dengan inovasi global. Keduanya harus berjalan beriringan dan saling menguatkan,” tegasnya.
Ia menutup sambutan dengan pesan reflektif kepada sivitas akademika agar kemajuan tidak membuat perguruan tinggi kehilangan jati diri. “Walaupun kita menjulang tinggi di era globalisasi, kita tidak boleh melupakan akar budaya dan kearifan lokal yang kita miliki,” pungkasnya.
Melalui seminar nasional tersebut, STKIP PGRI Pacitan berharap terus berkontribusi dalam membangun pendidikan tinggi yang adaptif, transformatif, dan tetap berakar kuat pada nilai-nilai lokal di tengah tantangan global. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Seminar Nasional STKIP PGRI Pacitan: Kearifan Lokal dan Sainstek Tak Perlu Dipertentangkan
| Pewarta | : Yusuf Arifai |
| Editor | : Ronny Wicaksono |