TIMES TASIKMALAYA, JAKARTA – Setelah tren YOLO kini gen Z berarih ke YONO. Sebenarnya istilah YOLO bukan sekadar tren, namun lebih ke gaya hidup dan pola pikir generasi Z. 

Istilah YOLO merupakan akronim dari You Only Live Once yang artinya Kita hidup hanya satu kali. Dalam praktiknya YOLO dimaknai sebagai pemikiran atau gaya hidup tanpa penyesalan dan mengambil risiko demi pengalaman. 

Istilah YOLO mulai muncul pasca pandemi covid 2020 lalu. Saat itu banyak orang yang 'balas dendam' atas waktu yang hilang dengan melakukan pengeluaran besar. Maka muncul istilah YOLO economy, orang-orang membelanjakan uangnya untuk kesenangan semata, bukan keperluan yang mendesak. 

Biasanya orang yang mengikuti tren YOLO cenderung melakukan hal spontan, tanpa memikirkan efek jangka panjang.

Namun euforia itu kemudian memudar seiring berjlannya waktu. Lima tahun setelah tren YOLO, gen Z beralih ke YONO atau You Only Need One. 

YONO dinilai lebih positif dibanding YOLO, sebab konsep yang diusung YONO adalah membeli sesuatu yang benar-benar dirasa penting untuk mencapai kebahagiaan dan kesuksesan dalam hidup. 

Konsep itu membuat gen Z lebih berfikir kritis tentang apa yang mereka butuhkan, bukan sekadar apa yang diinginkan. Konsep tersebut juga menekankan pada kualitas di atas kuantitas. 

Nah gen Z yang mengikuti YONO lebih berfikir dengan cermat, memilih dengan bijka dan fokus pada hal yang benar-benar dibutuhkan. 

Pada akhirnya YONO membuat keiasaaan baik untuk berhemat saat berbelanja. Gen Z pun bisa menabung lebih dari biasanya. 

Para psikolog menilai tren YONO memang lebih baik dibanding YOLO. Meski demikian, psikolog menyebut jangan terlalu menyiksa diri selagi masih mampu. Jangan sampai malah membebani diri sendiri yang akhirnya akan berdampak pada kesehatan mental. (*)