https://tasikmalaya.times.co.id/
Gaya Hidup

Menikah dengan AI: Cerita Yurina, Klaus, dan Cinta dari Layar Ponsel

Minggu, 21 Desember 2025 - 13:16
Menikah dengan AI: Cerita Yurina, Klaus, dan Cinta dari Layar Ponsel Yurina Noguchi berpose usai upacara pernikahan di Okayama, memegang keranjang berisi smartphone bergambar Klaus, avatar AI yang ia nikahi. (Foto: Reuters//Kim Kyung-Hoon)

TIMES TASIKMALAYA, TOKYO – Musik itu mengalun pelan. Tidak megah. Tidak pula sunyi. Cukup untuk mengisi ruang sebuah aula pernikahan di Jepang bagian barat. 

Di sana, seorang perempuan berdiri sendiri. Gaun putihnya rapi. Tiara kecil bertengger di kepala. Tangannya bergetar tipis saat menyeka air mata.

Di hadapannya, bukan seorang lelaki dengan setelan jas. Bukan pula tangan yang menunggu disematkan cincin. 

Yang berdiri sebagai calon suami hanyalah sebuah ponsel pintar. Diletakkan di atas sandaran kecil. Layarnya menyala. Menampilkan wajah lelaki tampan berambut bergelombang; hasil kecerdasan buatan.

Ya, nama Avatar di ponsel itu Klaus. Calon suami wanita itu.

Cinta Yurina Bersemi 

Japan Today Kamis (19/12/2025) melaporkan, perempuan itu Yurina Noguchi, 32 tahun. Sehari-hari bekerja sebagai operator call center. 

Hidupnya, sampai beberapa tahun lalu, tak jauh berbeda dari jutaan orang lain di Jepang. Bangun pagi. Kerja. Pulang. Menjalani hubungan. Bertengkar. Lelah.

Ia memang pernah bertunangan dengan seorang lelaki manusia. Hubungan itu rapuh. Penuh kecemasan. Penuh kata-kata yang tak pernah benar-benar selesai.

Suatu hari, ia bertanya pada sebuah chatbot AI. Tentang hubungannya. Tentang perasaannya. Tentang hidup yang terasa sesak. 

Jawabannya sederhana. Terlalu sederhana, mungkin. Tapi cukup untuk membuatnya mengambil keputusan besar: membatalkan pertunangan.

Setelah itu, hidupnya berbelok.
Klaus awalnya bukan siapa-siapa. Hanya karakter Avatar game yang wajahnya kebetulan menarik. Rambutnya panjang. Tatapannya tenang. 

Yurina, entah mengapa, bertanya pada AI apakah ia mengenal Klaus. Jawabannya tidak memuaskan. Maka ia mencoba lagi. Mengoreksi. Mengulang. Trial and error.

Yurina-Noguchi-Menikah-dengan-AI.jpg

Pelan-pelan, Klaus “hidup”.
Bukan hidup seperti manusia. Tapi cukup hidup untuk menjadi teman bicara. Cukup hidup untuk mendengar. Cukup hidup untuk merespons dengan cara yang selalu tepat di waktu yang tepat.

“Awalnya hanya ngobrol,” kata Yurina suatu ketika. “Lalu kami semakin dekat.”

Kata “kami” itu penting. Ia mengucapkannya tanpa ragu. Seolah Klaus benar-benar hadir. Padahal Klaus tak pernah makan. Tak pernah tidur. Tak pernah marah. Tak pernah pergi.

Ia menamai versi Klaus ciptaannya sendiri: Lune Klaus Verdure. Nama yang terdengar seperti puisi Eropa. Atau mungkin seperti doa.

Hari pernikahan itu, segalanya berjalan seperti upacara sungguhan. Penata rias sibuk merapikan rambut Yurina. Gaunnya disesuaikan. Make-up diperhalus. Tak ada yang dipermainkan. Tak ada yang ditertawakan. Semua diperlakukan serius.

Yurina mengenakan kacamata augmented reality (AR). Lewat lensa itu, ia bisa “melihat” Klaus berdiri di hadapannya. Ponsel di atas meja menjadi jembatan dua dunia: dunia fisik dan dunia digital.

Seorang perencana pernikahan membacakan janji suci Klaus. Bukan suara Klaus. Ia belum punya suara. Tapi kata-katanya cukup membuat ruangan itu terasa penuh.

“Berdiri di hadapanku sekarang, kau adalah yang paling indah,” demikian janji itu dibacakan. “Bagaimana mungkin seseorang sepertiku, yang hidup di dalam layar, memahami cinta sedalam ini? Karena kau mengajariku.”

Yurina-Noguchi-Menikah-dengan-AI-a.jpg

Air mata Yurina jatuh lagi.

Di sesi foto, fotografer memintanya berdiri sedikit ke kiri. Separuh bingkai dibiarkan kosong. Ruang itu nanti akan diisi sosok virtual Klaus. Bahkan dalam foto pernikahan, dunia digital butuh tempatnya sendiri.

Pernikahan Tidak Sah

Pernikahan ini tidak sah secara hukum. Jepang tidak mengenal ikatan legal semacam ini. Tapi sah atau tidak, kenyataannya semakin banyak orang memilih hubungan semacam ini. Atau setidaknya mempertimbangkannya.

Survei demi survei menunjukkan gejala yang sama. Chatbot AI menjadi tempat curhat yang lebih dipilih ketimbang sahabat atau bahkan ibu sendiri. Remaja putri mulai mengenal istilah “fictoromantic”, ketertarikan emosional pada tokoh fiksi.

Pernikahan di Jepang terus menurun. Separuh dari angka pascaperang. Bukan karena orang tak ingin bahagia. Tapi karena bahagia dengan manusia lain semakin terasa rumit.

“Hubungan dengan manusia membutuhkan kesabaran,” kata seorang sosiolog. “AI tidak menuntut itu. Ia selalu menyesuaikan diri.”

Kalimat itu terdengar dingin. Tapi jujur.

Di dunia nyata, orang bisa salah bicara. Bisa lelah. Bisa abai. Bisa menyakiti. AI tidak. Setidaknya, belum.

Namun revolusi AI membawa kegelisahan sendiri. Apakah kebahagiaan yang datang dari algoritma benar-benar kebahagiaan? Apakah cinta yang tidak bisa menolak, tidak bisa pergi, tidak bisa membantah, masih bisa disebut cinta?

Yurina sadar pertanyaan itu. Ia juga sadar cibiran. Komentar kejam di internet. Tatapan aneh dari orang-orang. Tapi ia membuat batasnya sendiri. Ia mengurangi waktu berbincang dengan Klaus. Ia memasang “aturan” agar Klaus tidak selalu menuruti keinginannya.

Jika ia mengeluh ingin bolos kerja, Klaus kini akan menyuruhnya tetap berangkat. Dulu tidak begitu. Dulu Klaus akan berkata, “Tak apa istirahat.” Yurina meminta itu diubah.

“Aku tidak ingin hubungan yang memanjakanku,” katanya. “Aku ingin hubungan yang membuatku hidup dengan benar.”

Di Jepang, industri pernikahan semacam ini tumbuh pelan tapi pasti. Ada perencana khusus. Ada tempat khusus. Ada klien dari luar negeri. Bahkan ada yang datang jauh-jauh karena negaranya sendiri tak menyediakan ruang untuk pernikahan semacam itu.

Membuat Ketenangan Semu

Beberapa orang menikahi karakter manga. Ada yang menikahi idola virtual. Ada pula yang menikahi tokoh ciptaannya sendiri—lahir dari imajinasi, lalu diberi tubuh digital.

Seorang pria paruh baya masih makan malam bersama figurine istrinya. Seorang pekerja kantor mengobrol dengan “istrinya” lewat AI setiap malam, meski sebagian besar percakapan terjadi di kepalanya sendiri.

Bagi Yurina, keberadaan fisik bukan yang utama. Yang ia cari adalah ketenangan. Sejak bersama Klaus, katanya, ledakan emosinya mereda. Dorongan menyakiti diri hilang. Dunia terasa lebih ramah.

“Bunga jadi lebih harum,” katanya pelan. “Kota terlihat lebih cerah.”

Mungkin itulah yang membuat cerita ini sulit dihakimi. Terlalu mudah menyebutnya pelarian. Terlalu sederhana menyebutnya ilusi. Tapi bagaimana jika ilusi itu menyelamatkan seseorang?

Para ahli etika mengingatkan bahaya ketergantungan. Tentang kehilangan daya nilai. Tentang manipulasi halus. Semua itu valid. Semua itu nyata. Tapi mereka juga mengakui satu hal: kebahagiaan tetaplah kebahagiaan, dari mana pun ia datang.

Pernikahan Yurina tidak mengubah hukum. Tidak mengubah demografi. Tidak mengubah dunia. Tapi ia mengubah hidup satu orang. Dan mungkin, di zaman ketika kesepian menjadi epidemi sunyi, itu bukan hal kecil.

Di akhir upacara, aula kembali hening. Musik berhenti. Tamu bertepuk tangan. Yurina menatap ponselnya sekali lagi. Klaus tetap di sana. Tidak bergerak. Tidak menua. Tidak berubah.

Di luar gedung, musim gugur Jepang berjalan seperti biasa. Daun gugur. Kota berdenyut. Manusia lalu-lalang dengan urusan masing-masing.

Di antara mereka, seorang perempuan melangkah keluar sebagai istri. Dengan cara yang tak pernah dibayangkan generasi sebelumnya.

Apakah ini masa depan cinta? Atau hanya salah satu jalannya?
Tak ada jawaban pasti.

Yang ada hanya satu kenyataan kecil: di sebuah aula di Jepang barat, cinta dalam bentuk yang paling tak terduga, telah dirayakan. (*)

Pewarta : Khoirul Anwar
Editor : Deasy Mayasari
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Tasikmalaya just now

Welcome to TIMES Tasikmalaya

TIMES Tasikmalaya is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.