TIMES TASIKMALAYA, TASIKMALAYA – Di usia ke-24 tahun sebagai kota mutiara di Priangan Timur, Kota Tasikmalaya masih dihadapkan pada realitas sosial yang mengkhawatirkan. Fenomena tuna wisma dan gelandangan kian hari menjadi persoalan kompleks yang menggambarkan ketimpangan ekonomi dan lemahnya sistem perlindungan sosial di perkotaan.
Fenomena ini bukan sekadar soal orang tanpa tempat tinggal, melainkan potret nyata dari permasalahan struktural yang berkelindan: kemiskinan, urbanisasi tak terkendali, rendahnya akses terhadap pendidikan dan kesehatan, hingga masalah kesehatan mental yang belum tertangani secara serius. Semua persoalan ini membentuk lingkaran sosial yang sulit diputus.
Hasil pantauan TIMES Indonesia di lapangan menunjukkan bahwa di sepanjang Jalan KHZ Mustofa, mulai dari kawasan Masjid Agung Kota Tasikmalaya hingga Bundaran Nagarawangi, tampak puluhan tuna wisma menempati emperan toko sebagai tempat tinggal sementara.
Sebagian dari mereka tidur beralaskan kardus, dengan perabot seadanya. Ada yang mengamen di trotoar, sebagian lagi mengais rezeki dengan meminta-minta di perempatan jalan raya. Kondisi ini mencerminkan belum terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat terhadap perumahan layak huni, akses pendidikan, dan lapangan pekerjaan yang memadai.
Dalam laporan TIMES Indonesia bertajuk “Mengintip Potret Kelam Sudut Malam di Jalan Pusat Kota Tasikmalaya” edisi 14 September 2025, disebutkan bahwa fenomena tersebut telah menjadi pemandangan rutin yang menyesakkan mata setiap malam di pusat kota.
Mengutip data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat melalui laman https://jabar.bps.go.id, pada tahun 2025 sebanyak 10,84 persen warga Kota Tasikmalaya masih tergolong dalam kategori masyarakat miskin.
Angka ini menjadikan Tasikmalaya sebagai daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi kedua di Jawa Barat setelah Kabupaten Indramayu (11,02 persen).
Fakta ini menunjukkan bahwa meski sudah dua dekade lebih menjadi kota mandiri, kemiskinan masih menjadi akar persoalan utama yang memicu lahirnya berbagai masalah sosial lainnya, termasuk keberadaan tuna wisma dan gelandangan.
“Banyak dari mereka kehilangan tempat tinggal akibat keterbatasan ekonomi. Sebagian lainnya datang dari luar daerah karena urbanisasi, namun tidak mampu bertahan hidup di kota. Saya pernah menghitung, di jalur pedestrian HZ ada tak kurang dari 47 orang tuna wisma,” ujar Tantan kepada TIMES Indonesia. Kamis (16/10/2025) malam.
Kepala Dinas Sosial Kota Tasikmalaya, Budi Rahman, saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, membenarkan bahwa di sepanjang jalur pedestrian Jalan KHZ. Mustofa memang terdapat sejumlah tuna wisma. Ia menegaskan, penanganan mereka membutuhkan dasar hukum yang kuat dan langkah terpadu antar instansi.
“Peraturan Daerah (Perda) No. 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ketenteraman dan Ketertiban Umum sudah mengatur pencegahan, penanganan, dan pemberantasan gangguan ketertiban umum, termasuk peran masyarakat dalam mewujudkan ketertiban itu sendiri,” jelas Budi Rahman, Kamis (16/10/2025) malam.
Budi menambahkan, terdapat pula Perda No. 11 Tahun 2009 dan Perda No. 3 Tahun 2014 yang menjadi dasar hukum dalam penanganan gangguan sosial di wilayah perkotaan. Namun, ia menilai penerapan di lapangan perlu diperkuat melalui kerja sama lintas sektor antara Trantibum, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan BNN.
“Permasalahan tuna wisma tidak bisa dilihat hanya dari sisi sosial. Ada aspek kesehatan dan bahkan penyalahgunaan zat yang harus ditangani bersama. Sebagian dari mereka sudah menjadikan kondisi tuna wisma ini sebagai profesi,” tegasnya.
Lebih jauh, Budi mengungkapkan bahwa hingga kini Kota Tasikmalaya belum memiliki rumah singgah yang difungsikan sebagai tempat penanganan sementara bagi para tuna wisma.
“Sudah kami sampaikan dalam rapat bersama Komisi I DPRD Kota Tasikmalaya pada bulan Juli lalu. Kami berharap ada dukungan anggaran untuk pembangunan rumah singgah dan panti lansia sebagai solusi jangka panjang,” ujarnya.
Langkah tersebut, kata Budi, merupakan bagian dari upaya Dinas Sosial agar ke depan Kota Tasikmalaya memiliki sistem penanganan yang lebih manusiawi, terintegrasi, dan berkelanjutan.
Permasalahan tuna wisma bukan sekadar isu ketertiban umum. Lebih dari itu, ini menyangkut hak asasi manusia dan martabat sosial warga negara. Dalam konteks pembangunan daerah, pemerintah perlu memandang isu ini sebagai prioritas kemanusiaan, bukan sekadar penertiban jalanan.
Sebagai kota santri yang dikenal menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan, solidaritas sosial, dan gotong royong, Kota Tasikmalaya diharapkan dapat menghadirkan pendekatan inklusif dalam menyelesaikan masalah tuna wisma—tidak hanya melalui pendekatan hukum, tetapi juga dengan rehabilitasi sosial, pemberdayaan ekonomi, dan pelibatan komunitas lokal.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, setiap warga negara berhak atas kehidupan yang layak, termasuk mereka yang kehilangan tempat tinggal. Karena itu, keberadaan rumah singgah, pusat rehabilitasi sosial, dan program padat karya menjadi kebutuhan mendesak di Tasikmalaya.
Pemerintah Kota Tasikmalaya perlu memastikan bahwa kebijakan sosial yang dijalankan tidak hanya bersifat kuratif, tetapi juga preventif dan pemberdayaan. Kolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, lembaga sosial, dan masyarakat sipil akan menjadi kunci dalam mengurai persoalan sosial yang telah menahun ini.
Dua puluh empat tahun perjalanan Kota Tasikmalaya sebagai kota otonom belum sepenuhnya berhasil mewujudkan kesejahteraan sosial yang merata. Fenomena tuna wisma menjadi alarm moral bagi seluruh pemangku kebijakan bahwa pembangunan sejati tidak diukur dari gedung megah dan jalan mulus, tetapi dari kemampuan sebuah kota melindungi dan memanusiakan warganya yang paling lemah.
Dengan perencanaan yang berkeadilan, penegakan hukum yang humanis, serta dukungan masyarakat yang peduli, Kota Tasikmalaya berpeluang menjadi contoh kota religius yang tidak hanya agamis secara simbolik, tetapi juga sosial secara substansial. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Permasalahan Tuna Wisma: Potret Kesenjangan Sosial di Usia 24 Tahun Kota Tasikmalaya
Pewarta | : Harniwan Obech |
Editor | : Deasy Mayasari |