TIMES TASIKMALAYA, TASIKMALAYA – Di tengah dinamika sosial dan politik yang tengah memanas, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Kota Tasikmalaya (PMII Tasikmalaya) menyampaikan sikap tegas terkait aksi pengrusakan fasilitas umum, termasuk gedung DPRD Kota Tasikmalaya.
Aksi yang dilakukan oleh oknum massa ini dinilai kontraproduktif terhadap perjuangan rakyat, karena berdampak pada pemborosan anggaran daerah yang seharusnya dapat digunakan untuk kepentingan publik.
Ketua PMII Kota Tasikmalaya, Ardiana Nugraha, menegaskan bahwa peristiwa tersebut harus menjadi bahan introspeksi bersama.
Menurutnya, bangsa Indonesia yang kini memasuki usia 80 tahun kemerdekaan harus semakin dewasa dalam menyampaikan kritik dan gagasan. Aksi mahasiswa maupun masyarakat seharusnya dijadikan ruang refleksi, bukan arena adu ego untuk mencari siapa yang paling benar atau paling hebat.
“Dengan adanya pengrusakan gedung DPRD Kota Tasikmalaya, kami dari PMII sangat menyayangkan. Bagaimana bisa APBD Kota Tasik yang mencapai Rp 1,77 triliun, sebagian anggarannya harus dialihkan untuk perbaikan fasilitas gedung DPRD. Padahal ada hal yang lebih prioritas, yakni perbaikan kualitas SDM masyarakat Tasikmalaya agar lebih unggul dan sejahtera,” ungkap Ardiana, Senin (1/9/2025)
PMII menilai, jika tidak terjadi pengrusakan, maka program-program pemerintah daerah, khususnya yang berfokus pada pengentasan kemiskinan, dapat lebih dimaksimalkan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di Kota Tasikmalaya masih berada di angka 8,75% pada tahun 2023. Artinya, alokasi APBD seharusnya lebih diarahkan pada program yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat miskin, bukan pada perbaikan fasilitas akibat aksi anarkis.
“Kalau seandainya tidak ada pengrusakan, mungkin program dari pemerintah khususnya untuk mengentaskan kemiskinan bisa dimaksimalkan. Mari kita bangun gagasan dan narasi besar mahasiswa ini secara terukur, terkawal, dan terlaksana,” tambah Ardiana.
Lebih lanjut, PMII menekankan bahwa setiap aksi mahasiswa maupun masyarakat harus benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat. Ardiana mengingatkan agar gerakan mahasiswa tidak kehilangan orientasi perjuangan, apalagi sampai menjadi beban baru bagi rakyat akibat kerusuhan.
“Jadilah penyambung lidah rakyat, bukan pemutus lidah rakyat,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan peran aparat penegak hukum sebagai pengayom masyarakat. Aparat diminta untuk lebih humanis dan tidak represif dalam menghadapi aksi demonstrasi.
Sementara itu, pejabat pemerintah harus terbuka dan bersedia menampung aspirasi dengan sikap yang gentle serta penuh tanggung jawab.
Dalam pernyataannya, Ardiana menutup dengan seruan moral agar semua pihak menghentikan praktik kekerasan, perusakan, hingga penindasan terhadap rakyat.
“Stop pembunuhan, stop penindasan, stop pengrusakan, stop kerusuhan, stop penjarahan! Jangan jadikan masyarakat kita sebagai korban, pun jangan jadikan pihak lain sebagai korban,” pungkas Ardiana Nugraha. (*)
Pewarta | : Harniwan Obech |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |